Rabu, 15 Februari 2012

PAJAK UKM


Usaha Beromzet di Bawah Rp 300 Juta Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

"Bukan berarti Direktorat Jenderal Pajak Hanya memfokuskan pada UKM (usaha kecil dan menengah) saja. Direktorat Jenderal Pajak juga terus menggali potensi pajak dari berbagai lini yang layak, termasuk dari yang besar-besar," kata Dedi Rudaedi, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan,di Jakarta, Senin (13/2).

UKM yang dimaksud dalam kategori Direktorat Jenderal Pajak tersebut adalah usaha dengan skala omzet mulai dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar setahun. Usulan potongan pajaknya sebesar 2 persen dari omzet. Rinciannya, 1 persen untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan 1 persen untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara untuk usaha yang skala omzetnya di bawah Rp 300 juta, Dedi menambahkan, diusulkan untuk dikenai PPh sebesar 0,5 persen. Usaha dalam skala ini tidak dikenai PPN.

Usulan skema pajak tersebut telah disampaikan ke Kementerian Keuangan. Bentuk akhirnya nanti adalah peraturan presiden.

Akhir pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rachmany menegaskan, prinsip keadilan menjadi salah satu dasar pengajuan usulan skema potongan pajak untuk usaha yang skala omzetnya mulai Rp 300 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar setahun.

Fuad menggambarkan, buruh pabrik dengan upah Rp 3 juta perbulan saja sudah dipotong bulanan untuk membayar PPh. Sementara pengusaha elektronik di Glodok, Jakarta, yang omzetnya mencapai puluhan bahkan sampai ratusan juta rupiah per bulan tidak membayar pajak.

Saat ditanya usaha untuk mendapatkan pajak dari pengusaha skala besar, Fuad mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak bersama dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral tengah membahas nota kesepahaman di sektor pertambangan. Salah satu kemungkinan yang akan dibahas menyangkut penggunaan surveyor untuk mengecek data produksi pertambangan. Pertambangan adalah sektor yang dinilai masih besar potensi pajaknya.

Pemerintah, menurut Fuad, selama ini telah memiliki data produksi. Persoalannya, data tersebut berasal dari pihak pengusaha sehingga rawan dimanipulasi untuk kepentingan pengusaha yang bersangkutan.

Perlu "Surveyor"

Pengamat pajak dari Tax Center, Darussalam, menyatakan, selama ini terdapat persoalan pada kebenaran jumlah produksi dan harga produksi. Oleh sebab itu, pemerintah membutuhkan surveyor untuk mendapatkan data akurat mengenai produk dan harga riil.

Secara terpisah, Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan di Jakarta, menegaskan, "Kebijakan pengenaan pajak terhadap UKM belum final. Mudah-mudahan minggu ini hasilnya sudah mencapai titik final."

Untuk usaha mikro, Syarifuddin mengharapkan, dibebaskan dari pengenaan pajak. Biarkanlah pelaku usaha mikro meningkatkan kekayaannya dahulu, barulah pada titik tertentu dipungut pajak.

Pada dasarnya, menurut Syarifuddin, pemerintah memberikan perhatian pendapatan negara dari pajak karena 90-95 persen pembangunan dibiayai dari penerimaan pajak. Hal ini perlu menjadi pertimbangan pemerintah.

"Saya sendiri belum mendengar potensi UKM yang bisa ditariki pajak. Saya perhatian pada pelaku usaha mikro. Omzetnya saja kecil, seperti pedagang bakso, paling rata-rata hanya Rp 150.000-Rp 200.000 per hari," ujar Syarifuddin.

Tidak ada komentar: