Kamis, 23 Februari 2012

Perhitungan Pajak PPh 21 Untuk Jasa Tenaga Ahli

Perhitungan Pajak PPh 21 Untuk Jasa Tenaga Ahli Mulai Tahun 2009 Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009, perhitungan pajak PPh 21 untuk jasa tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, aktuaris) sebagai berikut : • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : 50% x Penghasilan Bruto • PPh 21 : Tarif Pasal 17 x DPP kumulatif Contoh kasus : Bulan Maret 2009, jasa tenaga ahli sebesar 80 juta. DPP : 80 juta x 50% = 40 juta DPP kumulatif : 40 juta PPh 21 yang harus dipotong : 5% x 40 juta = 2.000.000 Bulan Mei 2009, jasa tenaga ahli sebesar 60 juta. DPP : 60 juta x 50% = 30 juta DPP kumulatif : 40 juta + 30 juta = 70 juta PPh 21 : 5% x 10 juta = 500.000 15% x 20 juta = 3.000.000 PPh 21 yang harus dipotong : 3.500.000 Jika si pemberi jasa tidak punya NPWP, maka akan dipotong sebesar 120%.

Cara memakai Norma Penghitungan Penghasilan Bruto

Pengertian Norma Penghitungan Penghasilan Netto ( Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ) a. Yaitu pedoman untuk menentukan penghasilan netto wajib pajak, karena wajib pajak tersebut tidak wajib melakukan pembukuan. b. Wajib Pajak yang boleh menggunakan norma penghitungan adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat-syarat berikut : c. - Peredaran bruto dalam 1 tahun tidak mencapai Rp 4.800.000.000,00. - Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku. - Menyelenggarakan Pencatatan . d. Dalam hal wajib pajak tersebut tidak menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak seperti tersebut di atas, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. e. Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan peredaran bruto sebesar 4.800.000.000 berlaku sejak UU PPh No 36 diberlakukan atau sejak tahun pajak 2009. Sebelumnya batas peredaran bruto adalah 600.000.000 2. CONTOH PEMAKAIAN NORMA untuk tahun pajak 2008 A. Wajib Pajak A kawin dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. - Peredaran Usaha dari Industri Rotan (setahun) di Cirebon Rp. 40.000.000,00 - Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun) di Jakarta Rp. 72.000.000,00 Penghasilan neto dihitung sebagai berikut : - Dari industri rotan : 12,5% X Rp. 40.000.000,00 Rp. 5.000.000,00 - Sebagai dokter : 45% X Rp. 72.000.000,00 Rp. 32.400.000,00 jumlah penghasilan Neto Rp. 37.400.000,00 Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 37.400.000,00 - Rp. 8.640.000,00 = Rp. 28.760.000,00 Pajak penghasilan yang terutang : - 5% X Rp. 25.000.000,00 Rp. 1.250.000,00 - 10% X Rp. 3.760.000,00 Rp. 376.000,00 Jumlah Rp. 1.626.000,00 Catatan : a. Angka 12,5% untuk industri rotan, lihat kode 33100 b. Angka 45% sebagai dokter, lihat kode 93213 c. Istri tidak punya penghasilan. B. Seorang Wajib Pajak baru memiliki usaha sebagai pedagang eceran bahan makanan di Jakarta. Penjualan dalam satu bulan diperkirakan sebesar Rp. 15.000.000,00 Ia kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sebagai angsuran dalam tahun berjalan dihitung sebagai berikut : Jumlah peredaran setahun = 12 X Rp. 15.000.000,00 Rp. 180.000.000,00 Persentase penghasilan menurut norma Kode 62320 = 25% Penghasilan neto setahun = 25% X Rp. 180.000.000,00 Rp. 45.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak = penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak = Rp. 45.000.000,00 - Rp. 7.200.000,00 Rp. 37.800.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang = 5% X Rp. 37.800.000,00 Rp. 1.890.000,00 pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar = 1/12 X Rp. 1.890.000,00 Rp. 157.500,00 Catatan : penghitungan diatas adalah untuk tahun pajak 2008 yang masih memberlakukan tarif dan PTKP sesuai dengan UU PPh No 17 tahun 2000

PPh Atas Penghasilan Dokter

Penghasilan dokter pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu penghasilan yang bersumber dari praktek dokter yang dilakukan sendiri dan penghasilan yang diperoleh dari rumah sakit. Pelunasan Pajak Penghasilan atas kedua jenis sumber penghasilan ini berbeda. Untuk pelunasan jenis penghasilan yang pertama dilakukan melalui mekanisme cicilan PPh Pasal 25 tiap bulan. Sementara penghasilan yang diperoleh dari rumah sakit dikenakan PPh Pasal 21. Kedua jenis pelunasan ini hakikatnya adalah pembayaran di muka atas Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan. Dengan kata lain, PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 21 yang dibayar merupakan kredit pajak tahun berjalan. Penghasilan dari praktek dokter Penghasilan ini hakikatnya adalah penghasilan berupa pekerjaan bebas. Dengan demikian pelunasannya dilakukan melalui mekanisme angsuran PPh Pasal 25. Dasar perhitungannya adalah Pajak Penghasilan terutang tahun sebelumnya dibagi 12. Namun demikian PPh Pasal 25 ini sifatnya hanya pembayaran di muka, sehingga perhitungan Pajak Penghasilan terutang sebenarnya dilakukan di SPT Tahunan. Dengan demikian, masih ada kemungkinan penambahan PPh yang harus dibayar di akhir tahun atau mungkin juga ada kelebihan pembayaran pajak. Penghasilan dari rumah sakit Pada umumnya, tenaga dokter di rumah sakit dibagi menjadi 5 jenis yaitu, 1. Dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit, 2. Dokter yang berstatus sebagai pegawai tetap atau tenaga honorer di rumah sakit, 3. Dokter tetap, yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap (hari dan jam praktek ), namun bukan sebagai pegawai rumah sakit, 4. Dokter tamu, yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di rumah sakit, 5. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat prakteknya Penghasilan dokter yang diterima dari rumah sakit dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sebagai berikut : 1. Atas penghasilan dokter dari keuangan rumah sakit yang diterima oleh dokter yang menjabat pengurus, pimpinan rumah sakit, pegawai tetap maupun tenaga honorer di rumah sakit berupa gaji, tunjangan, honorarium dan imbalan lainnya dikenakan PPh Pasal 21 sesuai dengan perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap atau pegawai tetap sesuai buku petunjuk pemotongan PPh Pasal 21/26 (lihat KEP-545/PJ/2000 Jo PER-15/PJ/2006). Tarif yang dikenakan adalah tarif Pasal 17 atas Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak ini adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 2. Penghasilan yang berasal dari pasien yang diterima oleh semua jenis dokter dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 15% x 50% x imbalan jasa dokter atau sama dengan 7,5% dari jasa dokter

Rabu, 22 Februari 2012

Tax Planning OP

TAX PLAN OP perencanaan pajak pribadi atau tax planning adalah upaya penghematan dengan cara menekan jumlah kewajiban pajak tanpa bertentangan dengan UU Pajak yang berlaku. Hal ini sangat lumrah karena pajak dianggap sebagai biaya, sehingga untuk meminimalisir biaya tersebut perlu dilakukan berbagai upaya atau strategi tertentu. Intinya adalah bagaimana agar pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya dan akhirnya akan memperoleh keuntungan serta likuiditas yang diharapkan bagi kita. Bagaimana konsep perencanaan pajak bisa diterapkan di Indonesia? Setidaknya ada tiga jenis pajak yang relevan untuk perencanaan keuangan keluarga: 1. Pajak yang timbul dari pembelian (PPN). 2. Pajak yang timbul karena kepemilikan (PBB, PPnBM, BPHTB dan pajak kendaraan). 3. Pajak yang timbul karena adanya penghasilan (PPh). Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga barang yang dibeli/konsumsi. Penjual barang yang dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban untuk memungut pajak dari konsumennya. Namun dalam kasus WP melakukan kegiatan penambahan nilai secara independen maka membayar PPN kepada kantor pajak adalah keharusan. Misalnya membangun rumah sendiri tanpa bantuan kontraktor, maka WP harus membayar PPN. Untuk perencanaan PPN, WP harus memperhitungkan nilai barang yang akan konsumsi setelah pajak supaya anggarannya tidak membengkak. Tarif PPN adalah sebesar 10 persen. Untuk aset yang sudah dimiliki, anggaran pajak kepemilikan harus diperhatikan. Jika memiliki kendaraan bermotor, jangan lupa untuk membayar pajaknya setiap tahun. Kalau memiliki rumah di atas sebidang tanah maka setiap tahunnya wajib membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang besarnya berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dalam kasus kepemilikan apartemen, jika WP adalah pemilik pertama maka ada tiga jenis pajak yang harus dibayar yaitu : PPN, PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah). Namun jika WP adalah pemilik kedua dan seterusnya, maka pajak yang harus dibayar hanyalah BPHTB. Berikut ini strategi penerapan tax planning untuk orang pribadi yang bisa menjadi awal perenungan: 1. Jika tidak ada Perjanjian Pisah Harta atau Penghasilan, istri tidak perlu memiliki NPWP sendiri, karena dapat mengikuti register NPWP suami. 2. Hindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, misalnya telat untuk melaporkan SPT dan/atau telat membayar pajak, yang dapat dikenakan sanksi administrasi. Apabila belum selesai menyiapkan SPT Tahunan, WP dapat mengajukan permohonan penundaan pelaporan sebelum jatuh tempo, sehingga tidak dikenakan sanksi administrasi. 3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4,8 miliar boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan menggunakan norma penghitungan adalah adanya kemudahan praktek penghitungan pajak. Wajib Pajak juga tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan pembukuan. Keuntungan yang lainnya adanya kemudahan menghitung Pajak Penghasilan. 4. Sama halnya dengan menyusun perencanaan keuangan tahunan, WP juga perlu membuat perencanaan perpajakan, semua pengeluaran dan kebutuhan selama setahun perlu dicatat agar dapat mengetahui total pengeluaran berbanding dengan penghasilan. 5. Jika hendak berbisnis, maka WP sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi dapat mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk perusahaan yang tepat. Misalnya, jika peredaran bruto satu tahun tidak melebihi Rp 600 juta dapat memilih perusahaan perorangan yang akan dikenakan tarif pajak dengan tarif terendah 5%. 6. Berinvestasi di Reksa Dana dengan jangka waktu kurang dari lima tahun karena bukan objek pajak penghasilan. 7. Program apartemen bersubsidi dari pemerintah yang sedang marak dipasarkan bisa dilirik sebagai salah satu pilihan untuk memiliki tempat tinggal. Karena pemerintah akan membebaskan PPN untuk pembelian satu unit apartemen bersubsidi jika memiliki pendapatan maksimal Rp48 juta per tahun.

SISI LAIN PELATIH- Kisah Tak Harmonis Hiddink dengan Pajak

Ada yang menarik dalam kontrak kerja Guus Hiddink dengan Anzhi Makhachkala.Dalam kesepakatan itu tertera jelas pihak klub menanggung pajak penghasilan pria berusia 65 tahun tersebut. Awalnya Hiddink meminta gaji 15 juta euro per musim. Namun,ketika disodorkan penawaran gaji bersih tanpa pajak sebesar 10 juta euro,eks juru kemudi PSV Eindhoven tersebut menganggukkan kepala.Ada cerita kurang harmonis Hiddink dengan pajak. Februari 2007 mungkin menjadi masa kelam pelatih berpostur gempal ini.Bagaimana tidak,di bulan itu dia diganjar hukuman enam bulan penjara.Namun, akhirnya dia memilih membayar denda sebesar 45.000 euro. Ketika itu,Hiddink dinyatakan bersalah atas penipuan pajak oleh pengadilan Belanda.Jaksa menuntut hukuman 10 bulan penjara karena Hiddink menghindari pajak senilai 1,4 juta euro. Saat itu, Hiddink mengaku sebagai penduduk Belgia dari 2002 hingga 2003.Namun, setelah diselidiki,itu semua tidak benar. Badan Intelijen Pajak Belanda menyatakan bahwa dia tidak tinggal di Belgia. Dia justru memilih menghabiskan waktunya di mobil pribadinya. Untuk semua tuduhan itu,Hiddink tak tinggal diam.Dia langsung melakukan pembelaan.Lewat pengacaranya, Hiddink menjelaskan bahwa itu semua lantaran nasihat negatif dari penasihat keuangannya.Penasihat keuangannya mengatakan kepada Hiddink bahwa mengklaim rumah di Belgia itu sah. ”Penasihat keuangannya memberikan masukan negatif kepada Hiddink. Soal hukumannya ini,dia sama sekali tidak senang.Dia senang karena akhirnya hukumannya lebih ringan,itu saja. Namun,selebihnya kasus ini membuatnya sangat malu.Citranya rusak karena tuduhan menghindari pajak,”sebut Jan Leliveld,kuasa hukum Hiddink,dilansir Guardian. Setelah keputusan keluar,Hiddink dan pengacaranya mengungkapkan akan mempelajari kasus ini dengan detail. Mantan pelatih Korea Selatan itu mempertimbangkan akan mengajukan banding. Namun,semua itu hanya menjadi wacana. Kasus tersebut memang membuat Hiddink sangat murka.Dia tidak mau karena masalah ini pekerjaannya terganggu.Hiddink ketika itu tengah menjabat sebagai pelatih timnas Rusia. Kasus ini membuatnya ketar-ketir lantaran dia takut tidak bisa keluar dari Belanda. Bukan hanya Hiddink yang resah.Pihak Asosiasi Sepak Bola Rusia juga merasakan hal serupa. ”Kami begitu prihatin dengan apa yang menimpa Hiddink.Kami tidak tahu apakah dia diizinkan untuk bepergian atau tidak.Itu yang sangat kami khawatirkan,”sebut juru bicara Asosiasi Sepak Bola Rusia ketika itu. Bukan hanya Hiddink yang pernah tersandung penggelapan pajak.Nakhoda Tottenham Hotspur juga mengalami hal yang sama.Hanya,nasib Redknapp jauh lebih baik ketimbang Hiddink.Redknapp dituding melakukan penggelapan pajak ketika masih menukangi Portsmouth. Rinciannya adalah pada April 2002 dan November 2007.Redknapp dituduh menghindari pembayaran pajak yang juga melibatkan pemilik Portsmouth ketika itu,Milan Mandaric. Namun,setelah menjalani proses penyelidikan akhirnya Redknapp sama sekali tidak bersalah. Dia dinyatakan bebas dari tuduhan tersebut dan bisa menjalani hidupnya kembali dengan normal.Selama sibuk mengurus kasus ini,kebersamaan Redknapp dengan Gareth Bale dkk menjadi terganggu.”Akhirnya saya terbebas dari kasus penggelapan pajak ini. Urusan dengan pengadilan membuat saya tidak nyaman.Tapi,semuanya kini sudah jelas,”ungkap paman Frank Lampard itu,dilansir The Sun

Penerimaan PPN Turun, PNBP Akan Digenjot

Pemerintah terus menggodok rancangan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Dalam revisi itu, pemerintah akan mengubah beberapa asumsi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan asumsi produksi (lifting) minyak. Sebagai konsekuensi dari revisi asumsi makro tersebut, pos penerimaan dan belanja negara juga akan berubah. Ambil contoh, penerimaan negara dari pajak bakal berkurang karena target pertumbuhan ekonomi bakal dipangkas dari semula sebesar 6,7% menjadi sekitar 6,5%-6,6%. Asumsi pertumbuhan ekonomi direvisi lantaran perlambatan ekonomi global bakal berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai konsekuensi, dari perlambatan ekonomi tersebut, kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, penerimaan negara dari sektor perpajakan bakal mengalami sedikit koreksi alias penurunan. Cuma, ia belum bisa membeberkan berapa potensi penurunan penerimaan pajak tersebut. di APBN 2012, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp 1.019,33 triliun. Fuad Rachmany, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menambahkan, jika pemerintah merevisi berbagai asumsi makro termasuk asumsi pertumbuhan ekonomi karena imbas perlambatan ekonomi global, otomatis pertumbuhan penerimaan pajak juga akan melambat. "Memang yang langsung terkena dampak melambatnya ekonomi paling banyak pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penghasilan (PPh) badan," katanya, akhir pekan lalu. Tapi, khusus untuk PPh badan, Fuad masih optimistis, penerimaannya bisa meningkat,. Sebab, tahun ini pemerintah melakukan penyisiran wajib pajak badan melalui program sensus pajak nasional yang digelar hingga akhir 2012. "Seharusnya penerimaan PPh badan naik karena masih banyak wajib pajak badan yang belum membayar pajak. Saya akan mengejar orang yang belum bayar pajak," ungkapnya. Fuad mengatakan, Ditjen Pajak akan berupaya melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak demi mengkompensasi penurunan penerimaan pajak tersebut. Salah satu upaya ekstensifikasi pajak yang dilakukan Ditjen Pajak adalah dengan menerapkan pajak bagi usaha kecil menengah (UKM). Agus menambahkan, untuk menambal penerimaan negara akibat berkurangnya setoran pajak, pemerintah akan menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Antara lain dengan memperbesar penerimaan dari sumber daya alam, pendapatan bagian laba BUMN dan pendapatan PNBP lainnya. "Saya kira pos PNBP bisa dikoreksi naik, sedangkan pajak mungkin akan ada sedikit koreksi turun," ungkap Agus. Selain akan berimbas pada pos penerimaan negara, revisi asumsi makro di makro di APBN 2012 juga akan mengubah pula pos belanja negara. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo bilang, beberapa pos belanja yang memungkinkan untuk dipangkas antara lain belanja barang dan belanja operasional. Namun, pemerintah tidak akan mengurangi belanja modal karena pemerintah ingin mempercepat pembangunan infrastruktur. Jika pemerintah merevisi seluruh postur APBN, maka perubahan defisit anggaran juga tidak terelakkan. Bisa jadi defisit akan melebar dari target 1,5% produk domestik bruto (PDB) tahun ini. "Tapi pemerintah akan menjaga defisit anggaran di bawah level 3%," kata Agus.

Bakal Ada Insentif Pajak Bagi Pekerja

Pemerintah ingin konsumsi masyarakat tidak terganggu oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pemerintah berencana menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan menanggung pajak pertambahan nilai (PPN ditanggung pemerintah/PPN DTP) terhadap beberapa produk. Dua insentif fiskal ini diharapkan bisa menjadi pendongkrak pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi. Amri Zaman, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan (PKP) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bilang, kebijakan ini untuk mengantisipasi penurunan pertumbuhan ekonomi, sekaligus membantu rakyat kecil. Tapi hingga kini pemerintah belum menetapkan berapa kenaikan PTKP itu. "Untuk karyawan kemungkinan nanti sampai penghasilan tertentu pajaknya akan di tanggung pemerintah. Atau bisa juga PTKP-nya kita akan naikkan. Tapi ini semua belum final, masih kami kaji,"ujar Amir, Senin (20/2). Kebijakan ini akan membawa dampak positif bagi pekerja berpenghasilan rendah. Mereka akan membawa pulang gaji lebih besar karena pajak yang harus dibayar lebih rendah. Sekadar catatan, berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, besaran PTKP untuk wajib pajak pribadi (tanpa tanggungan) ditetapkan sebesar Rp 15,8 juta per tahun atau sekitar Rp 1,215 juta per bulan dengan asumsi penerimaan gaji sebanyak 13 kali dalam setahun. Ini berarti, kalau seorang karyawan menerima gaji per bulan sebesar Rp 2 juta, maka penghasilan yang kena pajak cuma Rp 785.000 dengan tarif sebesar 5%. Kebijakan insentif pajak semacam ini juga pernah diterapkan pemerintah saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008. Selanjutnya, pemerintah akan menyampaikan rencana insentif perpajakan ini kepada DPR. Bisa jadi, usulan ini akan masuk dalam rancangan APBN Perubahan 2012. Rencananya, bulan depan pemerintah akan mulai melakukan pembahasan APBN-P bersama DPR. "Pak Menteri maunya 1 Maret mulai bicara dengan DPR, yaitu Komisi XI dan Banggar DPR mengenai APBN-P. Ini menuntaskan segala macam," katanya. Kebijakan ini, katanya Amri, memang akan memiliki konsekuensi penerimaan bakal pajak berkurang tahun ini. Meski begitu, pertimbangan utama pemerintah dalam mengambil kebijakan ini adalah agar bisa memberikan dampak positif secara menyeluruh terhadap perekonomian secara nasional. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro menambahkan, pemerintah juga menyiapkan PPh DTP untuk beberapa sektor tertentu seperti panas bumi, dan obligasi internasional. "Itu juga ada sejak APBN-P 2010 dan 2011," jelasnya. Menteri Keuangan Agus Martowarojo belum mau komentar soal rencana ini. Sebab rencana ini harus mendapat persetujuan Presiden terlebih dahulu.

Senin, 20 Februari 2012

Lapor pajak ONLINE

Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mulai 1 Februari 2012 akan menyediakan fasilitas pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan secara online dan realtime untuk wajib pajak pribadi berstatus karyawan. Fasilitas itu bisa dinikmati lewat website Ditjen Pajak di www.pajak.go.id. Wajib pajak orang pribadi yang bisa menikmati fasilitas online tersebut adalah mereka yang memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT Tahunan menggunakan formulir SPT Tahunan 1770S atau formulir SPT Tahunan 1770SS. Wajib pajak yang ingin memanfaatkan fasilitas ini, sebelumnya harus mengajukan permohonan secara online melalui website pajak atau langsung ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat. Permohonan ini diajukan agar wajib pajak bisa memperoleh nomor e-FIN atau electronic Filing Identification Number. Selanjutnya, wajib pajak harus mendaftarkan diri melalui website pajak dalam jangka waktu paling lama 30 hari kalender sejak diterbitkannya e-FIN. Setelah seluruh proses dilalui, wajib pajak pun dapat menyampaikan SPT Tahunan Orang Pribadinya dengan cara mengisi e-SPT dengan benar, lengkap dan jelas. E-SPT adalah data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang telah mengisi e-SPT diharuskan meminta kode verifikasi pada website www.pajak.go.id yang berfungsi untuk penandatangan SPT Tahunan secara elektronik atau tanda tangan digital. Fasilitas ini merupakan upaya Ditjen Pajak untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan terknologi di samping meningkatkan pelayanan yang lebih baik lagi kepada Wajib Pajak. Sebagai informasi, selama ini masyarakat senantiasa melaporkan SPT Tahunan melalui kantor pelayanan pajak. Seiring bertambahnya jumlah pemiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pemerintah pun berinisiatif menyediakan drop box di berbagai lokasi keramaian.

SPT PPh Orang Pribadi Mana Yang Sesuai Dengan Anda, 1770, 1770 S, atau 1770 SS ??

Bahwa sesuai dengan PER - 34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya, ada 3 jenis SPT yang digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai sarana untuk melaporkan penghasilannya dalam tahun pajak 2010 yaitu SPT PPh OP 1770, 1770 S, dan 1770 SS. Perbedaan ketiga jenis SPT tersebut adalah sebagai berikut : 1. SPT PPh Orang Pribadi 1770 • dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto; • dari satu atau lebih pemberi kerja; • yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan atau bersifat Final; dan/atau • penghasilan lain. 2. SPT PPh Orang Pribadi 1770 S • dari satu atau lebih pemberi kerja; • dari dalam negeri lainnya; dan/atau • yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final. 3. SPT PPh Orang Pribadi 1770 SS • Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun; dan • tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan berupa bunga bank dan/atau bunga koperasi

Rabu, 15 Februari 2012

Rekonsiliasi Fiskal

Sebelum membuat SPT Tahunan PPh Badan maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat rekonsiliasi fiskal yang tujuannya adalah agar laporan keuangan komersial sebelum datanya dimasukkan dalam SPT Tahunan PPh terlebih dahulu disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal perlu dilakukan karena terdapat beberapa perbedaan perlakuan baik itu mengenai pengakuan penghasilan maupun mengenai biaya/beban. Rekonsiliasi yang dilakukan akan menghasilan koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak Penghasilan (PPh) terutang. Jenis Perbedaan Pengakuan antara Komersial dan Fiskal Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu: 1. Beda Tetap (Permanent Different) 2. Beda Waktu (Time Different) Beda Tetap (Permanent Different) Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena : • Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh) • Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya: o Bunga Deposito dan Tabungan lainnya o Penghasilan berupa hadiah undian o Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, o Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan o Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan o dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh) Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya: • biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ; o yang bukan objek pajak; o yang pengenaan pajaknya bersifat final; o yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan • penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan • Pajak Penghasilan • sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. • biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh) Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil. Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar. Beda Waktu (Time Different) Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena : • Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima. Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena : • Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun • Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO • Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu • dan sebagainya Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan. Format Rekonsiliasi Fiskal Berikutnya akan disampaikan contoh format Rekonsiliasi Fiskal. Laba menurut Laporan Keuangan komersial ……………..Rp Koreksi Positif (Ditambah) 1. Pengeluaran yg tdk dpt dikurangkan……………….. Rp 2. Pengeluaran berkaitan penghasilan yang bukan objek pajak……… Rp 3. Pengeluaran berkaitan penghasilan yg telah dikenakan pajak bersifat final..Rp. 4. Beda penghitungan antara PSAK dan PPh …………………………………..Rp. Rp. Koreksi Negatif (Dikurangi) 1. Penghasilan yang bukan objek pajak …………………………………. Rp 2. Penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final…………. Rp 3. Beda penghitungan antara PSAK dan PPh……………………………………..Rp Rp. Kompensasi kerugian…………………………………………..Rp Penghasilan Kena Pajak………………………………………. Rp PPh terutang……………………………………………………Rp Laba setelah PPh……………………………………….……. Rp.

RESTITUSI

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan WP tidak punya hutang pajak lain. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak : - Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. - Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal: • Untuk PPh, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; • Untuk PPN, jika jumlah Kredit Pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut PPN , maka jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak Keluaran setelah dikurangi Pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut; • Untuk PPnBM, jika Pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. - SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. - Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu berakhir. Pengembalian Pendahuluan : 1.WP dengan kriteria tertentu dapat mengajukan restitusi dan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. 2.Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu. 3.Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah WP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan syarat: a.SPT disampaikan tepat waktu dalam 2 (dua) tahun terakhir. b.Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. Untuk SPT Masa yang terlambat tersebut harus telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; c.Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir. d.Tidak pernah dijatuhi hukuman tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. e. Laporan Keuangan diaudit oleh akuntan publik atau BPKP dengan: • pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau pendapat Wajar Dengan Pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal; • laporan audit disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. • Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak berupa SKPKB atau SKPLB atau SKPN dalam jangka waktu 10 tahun, terhadap WP yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. • SKPKB yang diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Batas akhir pemeriksaan SPT Lebih Bayar tertunda bila terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan bukti permulaan. Kemudian Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diperluas yaitu : 1.Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 2.Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; 3.Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu dan 4.Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. Wajib Pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit akuntan publik, juga dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai wajib Pajak kriteria tertentu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku berakhir dengan syarat memenuhi kriteria pada angka 3 huruf a, b, dan c, d (diatas) ditambah dengan syarat : • dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; • Apabila dalam 2 (dua) tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10% (sepuluh persen). • Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang memenuhi kiteria tertentu setiap bulan Januari dan berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. • Wajib Pajak yang penghitungan jumlah peredaran usahanya mudah diketahui karena berkaitan dengan pengenaan cukai sepanjang memenuhi persyaratan WP kriteria tertentu, dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN. 7.Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak diterbitkan paling lambat 3 (tiga) bulan untuk PPh dan 1 (satu) bulan untuk PPN, sejak permohonan diterima lengkap

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012

SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang belum tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, maka perlu dilakukan penyesuaian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530); 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR. Pasal I (1) Lampiran I Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, diubah dengan menambah sebagaimana tercantum dalam Lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Perubahan lampiran penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. Pasal II Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Januari 2012 MENTERI DALAM NEGERI, REPUBLIK INDONESIA ttd GAMAWAN FAUZI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 55 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM ttd ZUDAN ARIF FAKRULLOH Pembina Tk.I (IV/b) NIP. 19690824 199903 1 001

TAXCONSUL84

http://bandung.olx.co.id/konsultan-pajak-iid-315845208
Solusi menghadapi masalah perpajakan anda!
Hubungi kami di :
Tlp                   : 081802151058/ 022-92347584
Email               : tax_consul84@yahoo.com
YM                  : tax_consul84
Pin BB                        : 228D72EF
WhatsApp       : 087721906603
Twitter                        : @taxconsul
Membantu anda untuk :
1.      Menghitung, memperhitungkan, melunasi serta melaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pelayanan secara rutin atau bulanan yang terdiri dari SPT Masa PPN dan PPnBM, SPT Masa PPh Pasal 21/26, SPT Masa PPh Pasal 22, SPT Masa PPh Pasal 23/26, SPT Masa PPh Pasal 25, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 ( PPh Final), SPT Masa PPh Pasal 15, SPT Masa Wajib Pajak Orang pribadi.
2.      Membantu dalam pengisian SPT Tahunan PPh Badan dan Orang Pribadi.
3.      Memberikan solusi perpajakan dan menyusun perencanaan perpajakan (Tax Planning)
4.      Dan masalah perpajakan lainnya.








PPH Final atas Pengalihan Hak atas Tanah & Bangunann



Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP real estat dilakukan :
    1. paling lama 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran, dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran;
    2. sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak.
  2. Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang.
  3. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
  4. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan oleh cabang. Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dicabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
  5. Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
  6. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud dalam butir 5 telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
  7. Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
    1. Surat Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP Badan real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)
pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009;
2)
penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi;
3)
permohonan diajukan oleh WP Badan real estat yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai lampiran berupa daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang ditetapkan yang diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.
    1. Sehubungan dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditegaskan bahwa :
1)
NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan SKB, kecuali berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak wajib memiliki NPWP;
2)
nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB adalah pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB);
3)
dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan real estat menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP Badan real estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi.